Shalat, Titik Awal Menuju Kebangkitan

Republika,1 September 2004
Laporan : yus

Shalat tak sekadar hubungan pribadi antara manusia dan Allah. Shalat
mengandung dimensi yang sangat luas. Shalat yang khusyuk tak hanya
mendekatkan hubungan manusia dengan Tuhan, tapi juga dapat menjadi
daya dorong untuk menciptakan kehidupan bermasyarakat yang tertib,
saling menolong, senang bekerja keras, dan saling mengingatkan di
dalam kebaikan.

Hal itu mengemuka dalam diskusi dan peluncuran buku berjudul
Pelatihan Shalat Khusyu’: Shalat Sebagai Meditasi Tertinggi Dalam
Islam karya Abu Sangkan. Acara yang diadakan dalam rangka
memperingati peristiwa Isra Miraj itu digelar di Jakarta, 22
September 2005.

Gubernur Bank Indonesia (BI) Burhanuddin Abdullah, ketika memberikan
keynote speech mengatakan diskusi buku tersebut merupakan hal yang
tepat. Tepat dalam temanya dan tepat waktunya, yakni diadakan
bersamaan dengan peringatan Isra Miraj. ”Karena Isra Miraj adalah
sebagai titik awal dari turunnya perintah shalat kepada umat Nabi
Muhammad. Tepat waktunya karena dia adalah dalam kondisi di saat
bangsa kita berusaha bangkit dari krisis dan sedang melewati masa
transisi menuju masa depan yang lebih baik,” tuturnya.

Burhanuddin menambahkan, pembicaraan yang menyangkut hal-hal
spiritual memang merupakan topik yang sangat menarik dan makin banyak
diadakan. ”Mungkin benar bahwa dalam keadaan tertentu kita
memerlukan pembicaraan-pembicaraan yang sifatnya spiritual ini
sehingga kita tidak bisa membendung lagi pendapat orang yang
mengatakan bahwa diskusi, pembicaraan tentang agama atau penganutan
terhadap agama merupakan mekanisme pendukung bagi kita untuk bisa
bertahan.”

Tanpa agama, maka kecemasan, was was, penyakit, depresi bahkan bunuh
diri merupakan fenomena sosial yang tidak bisa diterangkan kecuali
dengan pemahaman yang berlebih daripada kehidupan keseharian. ”Sikap
keberagamaan, diskusi-diskusi spiritual yang khusyuk dalam pandangan
saya menjadi salah satu cara untuk itu,” ujarnya.

Menurut Burhanuddin, shalat mestinya tidak hanya berdampak ritual,
tapi juga sosial. ”Andaikata nilai ibadah kita, nilai kekhusyu’an
kita bisa ditransmisikan ke dalam kehidupan sosial kita, ke dalam
kehidupan pekerjaan kita dan ke dalam kebermainan kita di dalam
bermasyarakat saya kira bangsa ini akan menjadi bangsa yang besar.
Kekhusyukan kita dalam membangun bangsa ini, dalam membangun agama
kita akan memberikan manfaat yang sangat besar,” paparnya.

Sementara itu cendekiawan Muslim Komaruddin Hidayat yang juga tampil
pada diskusi tersebut menyatakan sangat sangat terkesan dengan cover
buku tersebut. ”Dari sekian banyak buku-buku agama mungkin buku ini
yang termasuk inspiring, eksentrik atau fungki atau apalah what ever
you made. Biasanya shalat itu masjid tapi ini justru ada danau atau
apalah terserah. Dari sini saja buku ini sudah lain dari yang lain,
bentuknya dan ukurannya,” tuturnya.

Komaruddin lalu menguraikan hikmah Isra Miraj. Awalnya orang-orang
kafir Quraisy tidak bisa totalitas menekan dan mengintimidasi
Rasulullah SAW, sebab ada kakeknya (Abdul Muthalib), pamannya (Abu
Thalib), dan istrinya (Siti Khadijah). Setelah ketiganya meninggal,
mereka leluasa memerangi Nabi bahkan mengadakan sayembara berhadiah
bagi siapa saja yang bisa membunuh Rasulullah. Di saat-saat genting
seperti itulah, Allah SWT memuliakan Nabi melalui Isra Miraj.
Peristiwa itu merupakan momentum kebangkitan bagi Rasullah SAW.

”Jadi, orang yang tercerahkan jiwanya, yang mencari kesinambungan
fokus pada Allah maka akan berani bangkit, menerobos kegelapan di
saat orang lain tidur lelap diselimuti oleh kegelapan Islam,”
tuturnya. Rasa ‘sambung’ inilah sebenarnya yang ditekankan buku
ini. ”Insya Allah dalam buku ini sudah saya uraikan bagaimana tune
in rasa sambung itu, ternyata rasa sambung itu setelah kita mencoba
menghubungkan, itu dampaknya tetap rasanya sampai berjam-jam, rasa
sambung itu,” tuturnya.

Tentang Setiawan

Asep Setiawan is a lecturer and professional journalist.
Pos ini dipublikasikan di Arsip, Shalat. Tandai permalink.

Tinggalkan komentar